Permasalahan mengenai Narkotika dan Obat-obatan terlarang atau yang disingkat Narkoba bukanlah hal yang asing di telinga kita. Masalah ini memang sudah mulai marak diperbincangkan sejak bertahun-tahun yang lalu, namun masih belum ada penyelesaian yang pasti atas masalah Narkoba ini. Bahkan dibeberapa negara didunia, penggunaan Narkoba sudah menjadi bagian dari gaya hidup sehari-hari atau lifestyle.
Masalah mengenai Narkoba ini pun memancing timbulnya berbagai gerakan anti-Narkoba di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Namun apabila diperhatikan dengan saksama, tiap kampanye memiliki jenis pendekatan yang berbeda-beda, baik dari segi target audience, kelas sosial, kebudayaan, hingga spiritual.
Berbagai pendekatan ini tentunya memiliki dasar yang kuat dan pada umumnya, pendekatan-pendekatan inilah yang dianggap paling merepresentasikan pandangan suatu negara terhadap isu tertentu, atau dalam konteks kali ini, Narkoba. Berbagai faktor mempengaruhi perbedaan-perbedaan ini, namun hal utama yang paling membuat perbedaan adalah perbedaan ideologi antara suatu kelompok tertentu dengan kelompok yang lain. Tentunya para junkies memiliki pandangan yang berbeda mengenai Narkoba apabila dibandingkan dengan para Dokter, lain pula halnya dengan para penegak hukum.
Pada kesempatan kali ini, saya akan mencoba mengangkat perbedaan cara representasi gerakan anti Narkoba dari sudut pandang kebudayaan yang berbeda, yaitu dari sudut pandang suatu kelompok dari Badan Narkotika Nasional dari Indonesia, dan dari sudut pandang lembaga EGAR (Educational Games and Resources) dari UK. Kedua lembaga ini berasal dari kelompok yang berbeda, baik dari segi ideologi, target audience, dan terutama kebudayaan. Badan Narkotika Nasional Indonesia sendiri sudah dikenal sebagai lembaga utama yang mengurus dan memperhatikan seluruh hal mengenai Narkoba, baik penggunaan, hingga penyalahgunaan Narkoba. Lain halnya dengan EGAR. Lembaga ini menargetkan kampanye-kampanye mereka untuk target audience yang lebih muda, yaitu anak-anak, remaja, hingga young-adult, dengan harapan bahwa mereka bisa mencegah anak-anak dari pengaruh Narkoba sejak dini.
Badan Narkotika Nasional terlihat lebih vulgar dalam merepresentasikan pandangan mereka terhadap Narkoba. Mereka tidak segan-segan menggunakan ilustrasi jarum, asap, dan benda lain yang dikaitkan dengan Narkoba untuk menimbulkan efek seram dan menakutkan. Mereka menggambarkan Narkoba sebagai barang haram yang berasal dari dunia "gelap", bahkan terkadang mengaitkan Narkoba dengan iblis atau setan. Tagline-tagline yang mereka gunakan pun sering membawa-bawa kata Neraka, Akhirat, dan sebagainya. Hal ini mungkin dipengaruhi oleh pandangan mereka bahwa masyarakat Indonesia benar-benar menjunjung tinggi nilai keagamaan, dan kita semua takut akan apa yang terjadi setelah kita meninggal nanti. Kata-kata yang mengancam ini dirasa lebih efektif untuk menimbulkan emosi yang mengakibatkan rasa takut untuk menggunakan Narkoba.
![]() |
| EGAR |
Dengan perbandingan tersebut, dapat disimpulkan bahwa setiap kelompok masyarakat memiliki pandangan yang berbeda-beda terhadap suatu isu tertentu, dan mereka akan menggunakan pendekatan yang mereka anggap paling merepresentasikan pandangan dan ideologi mereka. Dalam contoh ini, dapat terlihat bahwa masyarakat Indonesia sangat menjunjung tinggi nilai-nilai religi dan spiritual dalam kehidupan sehari-hari mereka, dan tampaknya pendekatan yang paling efektif adalah dengan menimbulkan rasa takut di benak mereka. Sungguh disayangkan betapa masyarakat Indonesia masih memilih untuk hidup di bawah rasa takut akan hal-hal yang dianggap "berbeda" dan tidak sesuai dengan ideologi mereka.


No comments:
Post a Comment