Pada kesempatan kali ini saya akan coba membahas tentang relasi antara Media dengan Subkultur. Apabila ditelusuri dengan baik, hal ini berhubungan dengan 2 hal yang telah kita bahas sebelumnya, yaitu mengenai Representasi, dan Kekuasaan. Disini kita akan kembali membahas tentang bagaimana media dapat mengkonstruk sebuah realita, dan bagaimana kepentingan-kepentingan yang lebih tinggi dapat mengubah suatu prespektif media.
Sebelum memulai pembahasan, terlebih dahulu saya akan menelusuri apa itu Subkultur.
M. Brake mendefinisikan Subkultur sebagai "Berbagai sistem makna, bentuk ekspresi, atau gaya hidup yang dikembangkan oleh kelompok-kelompok dalam posisi struktur subordinat ketika menghadapi sistem-sistem makna yang dominan"
Sedangkan Dick Hebdige berpendapat bahwa Subkultur menentang ideologi dominan, hegemoni, dan norma-norma sosial melalui bentuk-bentuk resistensi yang simbolik. "Gaya" subkultur ini sendiri dikonstruk melalui kombinasi antara cara berpakaian, genre musik yang dinikmati, tata rias wajah, serta sikap terhadap narkotika.
Sebagai contoh, kita dapat melihat kelompok Harajuku di Jepang, atau Goth di Amerika. Masing-masing dari mereka memiliki cara mereka tersendiri untuk mencitrakan siapa dirinya. Perlahan-lahan, orang yang memiliki pandangan yang sama pada akhirnya akan bergabung sehingga akhirnya diakui sebagai sebuah subkultur.
Namun pada zaman sekarang, kita sudah dapat dengan mudah menemukan komunitas-komunitas Harajuku, atau tree-hugger (pencinta alam) di negara-negara lain, termasuk Indonesia. Bagaimana ini bisa terjadi? Media.
Tidak hanya sebagai medium, Media juga membantu pembentukan citra-diri. Berbagai genre musik, isu-isu sosial, hingga artis papan atas disiarkan oleh media ke seluruh penjuru dunia. Mereka menargetkan kaum-kaum muda yang dianggap masih dalam tahap pencarian jati diri sebagai sasaran utama program-program mereka. Namun tanpa disadari, walaupun Media terkesan membantu menemukan jati diri, dibalik itu semua tujuan media tentu saja komersil. Dengan menyiarkan musik Rock, media membantu membentuk komunitas pencinta musik, dimana diharapkan mereka akan membeli CD original artis tesebut sebagai tanda dukungan mereka terhadap artis tersebut. Banyak contoh lain, seperti tiket bioskop, merchandising, dll.
Fenomena ini sempat dibahas pada tahun 1973 oleh Stuart Hall, seorang ahli Kajian Budaya asal Inggris. Dalam essaynya, ia menyebutkan bahwa Konsumen Media diberikan pesan-pesan yang diinterpretasikan dalam cara-cara yang berbeda sesuai dengan latar belakang kultural seseorang, kapasitas ekonominya, serta pengalaman pribadinya. Pemirsa ini pulalah yang sebenarnya memiliki kemampuan untuk mengubah pesan-pesan tersebut melalui aksi kolektif.







